Ticker

6/recent/ticker-posts

Dekonstruksi Euforia Pemira Kampus Ungu: Partisipasi yang Kian Usang



Uji Publik Pemira 2024 Universitas Amikom Purwokerto 2024. Kamis (12/12/2024). Foto: dokumentasi panitia Pemira.

Pada periode ini partisipasi mahasiswa dalam Pemilihan Raya (Pemira) 2024 Universitas Amikom Purwokerto atau yang biasa disebut Kampus Ungu mengalami penurunan partisipasi mahasiswa dalam minatnya untuk mencalonkan sebagai pergantian pimpinan khususnya pada organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Faktor minimnya partisipasi yang maju sebagai calon pemimpin dalam mengisi kekosongan akhirnya menjadikan Pemira pada tahun ini hanya dengan kehadiran paslon tunggal yang maju untuk berjuang. Hal ini menjadi sejarah pertama fenomena kontestasi Pemira dengan paslon tunggal pada Pemira di kampus ungu.

Pemira pada dasarnya dirancang untuk memilih calon presiden dan wakil presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang merupakan organisasi eksekutif mahasiswa. Namun gejolak demokrasi di kampus ungu kini menurun dari tahun ke tahun, sikap apatis mahasiswa dalam menyikapi politik kampus cukup memprihatinkan. Ini menjadi refleksi yang besar bagi seluruh instrumen yang ada di kampus untuk memulai terlebih dahulu dari produktifitas dan kegiatan-kegiatan yang progresif dalam mewadahi aspirasi, minat dan bakat siswa untuk mencari cara bagaimana mengajak teman-teman untuk bergabung menjadi individu yang diskursif dan peka terhadap kebutuhan dan isu-isu strategi khususnya dalam bidang akademik maupun non akademik.

Pemira yang seharusnya setiap tahunnya berjalan selangkah ke seberang. Menjadikan wadah bagi para calon pemimpin untuk bertukar pikiran dan mengumpulkan kolektif masa dalam menghimpun api pergerakan mahasiswa yang progresif. Hal ini akan menjadikan wadah teruntuk mahasiswa dalam berproses dan belajar untuk menjadi seorang pemimpin. Karena selayaknya belajar tidak hanya di dalam kelas saja.

Sebagai wadah independen. Pemira yang seharusnya menunjukkan persaingan akal pelajar, kini hanya menerima keadaan dengan munculnya kandidat yang bertanding melawan kotak kosong. Fenomena ini menunjukkan bahwa mahasiswa kampus ungu untuk menjadi seorang pemimpin sebagai regenerasi kian menurun. Organisasi mahasiswa di bawah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang biasanya mempromosikan mujahid-mujahidnya untuk menjadi calon-calon pada tahun 2024 kini hanya berlangsung semu dengan partisipasi yang menurun.

Polarisasi media yang telah direpresentasikan oleh para organisator khususnya dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari tahun ke tahun telah mengubah kinerja prioritas mahasiswa yang akhirnya berada pada persimpangan tantangan perjuangan substantif. Mereka sering terpecah oleh masalah yang tidak substantif, isu-isu strategi di kampus juga memprihatinkan dan jarang dikonsolidasikan. Ironisnya, organisasi kampus yang seharusnya menjadi sarana awal untuk belajar politik pada praktiknya justru kurang diminati oleh mahasiswa.

Pendidikan politik yang tidak pernah diselenggarakan oleh para instrumen kampus di bidangnya juga merupakan faktor yang diabaikan. Pada akhirnya mahasiswa tidak memahami pentingnya partisipasi politik di ranah kampus. Sistem politik yang digunakan juga cenderung kaku dan tidak mengacu pada point-point yang spesifik. Dari tahun ke tahun mahasiswa menjadi ragu bahwa pemimpin yang terpilih dapat membawa perubahan nyata. Kecewaan kolektif meningkat sebagai hasil dari para pemimpin yang fokus pada pencitraan dan mengabaikan kebutuhan instrumennya.

Jika harus peka terhadap kenyataan yang terjadi. Gotong royong dalam budaya jawa sering diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini yang harus benar-benar dipraktikan dalam pengambilan sikap pada keberlangsungan budaya pengorganisasian yang menjadi satu kesatuan untuk mengutamakan sikap moralis, reaktif dan memiliki strategi jangka panjang yang jelas.

Jika dirasa harus sedia payung sebelum hujan, kita harus lebih radikal lagi dalam mengambil keputusannya. Kita harus sedia tombak sebelum hujan sebagai simbolis kekuatan kolektif yang tidak hanya menampung, melainkan harus menekan lebih dalam terhadap keadaan substansial.

Organisasi mahasiswa juga harus ikut mengambil sikap untuk menjaga reputasi organisasi agar tidak hilang dari marwahnya. Jika tidak ada partisipasi yang signifikan, program kerja yang fokus pada minat dan bakat siswa terancam stagnan, dan diskusi strategi semakin jarang terdengar. Organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi sarang aktivisme dalam membahas berbagai isu strategi kini hanya menjadi tempat representasi demokrasi yang terjebak dalam ritualistik stagnasi. Padahal seharusnya organisasi pelajar menjadi garda terdepan bagi pelajar untuk menghimpun perbedaan menjadi persamaan yang tujuan dalam praktiknya.

Dekonstruksi pada keadaan sumber daya mahasiswa kampus ungu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pergerakan siswa harus kembali menemukan rohnya. Reformasi terhadap sistem-sistem yang sudah tidak relevan dan jarang dikaji harus diprioritaskan menjadi kebutuhan yang mendesak.

Pendidikan politik menjadi salah satu langkah penting untuk mengintegrasikan ke dalam lingkup kampus. Sehingga mahasiswa dapat memahami pentingnya peran mereka dalam menjaga demokrasi. Transparansi dan akuntabilitas juga harus ditingkatkan, baik dalam proses Pemira maupun dalam pengelolaan organisasi kemahasiswaan. Peran eksekutif dan legislatif harus selalu berkolaborasi untuk membentuk teknis dan menjalankan konsep guna mensejahterakan mahasiswa dan organisasi yang ada khususnya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Organisasi Mahasiswa (Ormawa), Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) dan komunitas yang ada di kampus ungu.

Hal serupa diungkapkan oleh Cak Nun dalam bukunya Demokrasi La Roiba Fih, demokrasi itu bak “perawan.” Yang merdeka dan memerdekakan. Watak utama demokrasi adalah “mempersilahkan.” Tidak punya konsep menolak, membuang atau membuang. Demokrasi adalah tentang semangat masyarakat, bukan hanya aturan untuk sekedar standarisasi.

Jika mahasiswa kembali melihat demokrasi sebagai alat perjuangan dan pergerakan mahasiswa. Pemira dapat menjadi ruang perjuangan yang bermakna dan mendidik generasi pemimpin masa depan menghidupkan kembali idealisme pelajar.

Menghadirkan kembali partisipasi aktif dalam Pemira adalah sebuah perjalanan panjang. Namun, langkah ini penting untuk memastikan bahwa demokrasi kampus tidak menjadi usang, melainkan tetap relevan sebagai wahana pembentukan karakter pemimpin.

Melalui komitmen kolektif, Pemira dapat kembali menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi mereka dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Demokrasi kampus harus dijaga, bukan sekedar ritual, tetapi sebagai jalan untuk membangun bangsa melalui langkah-langkah kecil di tingkat universitas.


Penulis: Revian Aziana Putra

Reporter: Tim Redaksi The Digest Minds

Editor: Tim Redaksi The Digest Minds

 

Posting Komentar

0 Komentar